News
Kembali Pajang Kartun Nabi, Charlie Hebdo Minta Diteror Lagi?
Setelah insiden penyerangan pekan lalu yang menewaskan 12 orang, tabloid satir asal Prancis Charlie Hebdo kembali memajang gambar kartun nabi di bagian depan sampulnya.
Di sampul depan itu gambar kartun nabi tampak sedang memegang kertas bertuliskan 'Saya Charlie'.
Stasiun televisi Al Jazeera melaporkan, Selasa (13/1), edisi kali ini bakal dicetak tiga juta eksemplar, lima kali lebih banyak dari biasanya. Nampaknya tabloid ini tidak belajar dari peristiwa yang membuat mereka harus membayar mahal.
Charlie Hebdo beralasan mereka menerbitkan kartun nabi atau gambar-gambar sosok tokoh dunia di tabloid sebagai bentuk kebebasan berekspresi.
Sebagai media penerbitan, jika belajar dari pengalaman, Charlie Hebdo seharusnya memahami ada batasan yang tak bisa seenaknya diterobos. Batasan itu bernama etika atau sensitifitas alias kepekaan publik.
Ketika dengan alasan kebebasan berekspresi mereka melanggar etika dan rasa kepekaan publik maka akibatnya bisa fatal dan justru memperburuk keadaan. Itulah yang sesungguhnya terjadi pekan lalu saat Said kouachi, 34 tahun, dan adiknya Cherif, 32 tahun, membantai orang-orang di kantor Charlie Hebdo.
Mufti Agung Mesir sebelumnya sudah memperingatkan Charlie Hebdo untuk tidak menerbitkan kartun Nabi Muhammad lagi di tabloid mereka. Dia beralasan kartun semacam itu bisa memicu kebencian di kalangan muslim di seluruh dunia.
"Edisi ini akan kembali menuai gelombang kebencian di Prancis dan di seantero negara Barat. Ini tidak menghargai kehidupan bersama antar masyarakat," kata Mufti Agung Mesir Shawqi Allam, seperti dilansir the Jerusalem Post, Rabu (13/1).
Semakin terbukanya era informasi, di tengah konflik bernuansa agama yang semakin marak, seharusnya media seperti Charlie Hebdo juga punya rasa kepekaan. Di luar sana ada orang-orang dengan paham ekstrem yang tidak segan-segan menghabisi nyawa siapa pun yang mereka anggap menodai keyakinan.
Di sampul depan itu gambar kartun nabi tampak sedang memegang kertas bertuliskan 'Saya Charlie'.
Stasiun televisi Al Jazeera melaporkan, Selasa (13/1), edisi kali ini bakal dicetak tiga juta eksemplar, lima kali lebih banyak dari biasanya. Nampaknya tabloid ini tidak belajar dari peristiwa yang membuat mereka harus membayar mahal.
Charlie Hebdo beralasan mereka menerbitkan kartun nabi atau gambar-gambar sosok tokoh dunia di tabloid sebagai bentuk kebebasan berekspresi.
Sebagai media penerbitan, jika belajar dari pengalaman, Charlie Hebdo seharusnya memahami ada batasan yang tak bisa seenaknya diterobos. Batasan itu bernama etika atau sensitifitas alias kepekaan publik.
Ketika dengan alasan kebebasan berekspresi mereka melanggar etika dan rasa kepekaan publik maka akibatnya bisa fatal dan justru memperburuk keadaan. Itulah yang sesungguhnya terjadi pekan lalu saat Said kouachi, 34 tahun, dan adiknya Cherif, 32 tahun, membantai orang-orang di kantor Charlie Hebdo.
Mufti Agung Mesir sebelumnya sudah memperingatkan Charlie Hebdo untuk tidak menerbitkan kartun Nabi Muhammad lagi di tabloid mereka. Dia beralasan kartun semacam itu bisa memicu kebencian di kalangan muslim di seluruh dunia.
"Edisi ini akan kembali menuai gelombang kebencian di Prancis dan di seantero negara Barat. Ini tidak menghargai kehidupan bersama antar masyarakat," kata Mufti Agung Mesir Shawqi Allam, seperti dilansir the Jerusalem Post, Rabu (13/1).
Semakin terbukanya era informasi, di tengah konflik bernuansa agama yang semakin marak, seharusnya media seperti Charlie Hebdo juga punya rasa kepekaan. Di luar sana ada orang-orang dengan paham ekstrem yang tidak segan-segan menghabisi nyawa siapa pun yang mereka anggap menodai keyakinan.